ARSITEKTUR ONLINE

ARSITEKTUR ONLINE

JASA DISAIN ARSITEKTUR

Cari Arsitek disini tempatnya...........

Arsitektur Online adalah penyedia jasa arsitek yang dilakukan secara online dimana berfokus pada keperluan desain arsitektur. Mulai data dari owner di kirim via email terus komunikasi penyajian desain juga via email sampai penyajian terakhir bisa dikirim via pos. Dengan keberadaan online internet kita bisa menjangkau ke seluruh pelosok nusantara bahkan dunia untuk memenuhi kebutuhan desain arsitektur dengan mudahnya untuk itu www.onarsitek.com berdiri.

Desain Arsitektur

Kebutuhan desain arsitektur baik keperluan eksterior maupun interior mulai dari rumah tinggal, kantor, ruko ( rumah toko ), villa, gudang, hotel, mall, apartemen, tempat ibadah, dll tergantung permintaan owner.

Desain Rumah

Didalam proses pelaksanaan suatu rumah tinggal perlu adanya desain yang dapat dijadikan acuan / pegangan supaya lebih memudahkan didalam pengerjaan proyek rumah tinggal untuk itu desain rumah mutlak adanya apalagi rumah mewah yang banyak sekali memerlukan suatu apresiasi didalam proses menuangkan ide-idenya.

Produk Arsitektur

Untuk mencukupi keperluan didalam suatu proyek maka dibutuhkan gambar konsep, gambar penyajian, gambar kerja khususnya arsitektur untuk itu onarsitek berusaha untuk memenuhi kebetuhan tersebut.

Penyajian Arsitektur

Didalam penyampaian kepada konsumen perlu adanya suatu hal yang dapat memperjelas pengertian terhadap owner untuk itu diperlukan penyajian arsitektur yang mudah pengplikasiannya, maka perlu suatu produk digital yang dapat membantu untuk membuka pandangan masyarakat awam

Seluruh Indonesia

Untuk sementara waktu ini onarsitek hanya bisa melayani customer seluruh Indonesia, tetapi untuk jangka panjang tidak menutup kemungkinan bisa seluruh dunia.

ORDER DESAIN

Jumat, 05 November 2010

Is this (no) architecture??

Is this (no) architecture??


Pernahkah, pada saat-saat tertentu yang tidak terencana, kita menemukan gubuk semacam ini di tengah-tengah lingkungan kota yang penuh dengan bangunan-bangunan kokoh dan berdinding bata? Jika ya, apakah yang terlintas dalam benak kita ketika melihatnya? Apakah kita sempat berpikir tentangnya? Ataukah gubuk sesederhana ini bahkan tidak mampu mencuri perhatian kita walau sejenak? Ia mungkin hanya tertangkap oleh mata kepala tanpa pernah sampai ke mata hati kita.

Sebagian orang mungkin akan menggeleng penuh rasa iba jika memikirkan nasib orang-orang yang mendiami gubuk ini. Sebagian lagi bisa jadi berpikir tentang betapa tidak layaknya gubuk ini untuk dijadikan tempat berhuni. Sementara kita, orang-orang yang berkecimpung di dunia arsitektur, mungkin akan mempertanyakan apakah bangunan ini pantas diklasifikasikan sebagai arsitektur, ataukah hanya pantas menduduki posisi sebagai “bangunan” belaka. Jika ia bukan dianggap bagian dari arsitektur, maka alangkah kejam rasanya ilmu ini menyepaknya keluar dari ruang lingkup keilmuan dan kepeduliannya. Jika ia merupakan bagian dari arsitektur, aspek mana sajakah dari dirinya yang dapat memenuhi kriteria untuk disebut sebagai sebuah “arsitektur”?



Tentu saja, tulisan ini terlalu singkat dan dangkal untuk memberikan vonis apakah hunian di atas merupakan bagian dari arsitektur ataukah berada di luar ranah keilmuan ini. Tulisan ini sesungguhnya hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam cara pandang kita terhadap apa sebenarnya yang disebut sebagai arsitektur, sembari mencoba untuk menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan yang mungkin ada secara lebih bijak.



Jika kita kembali kepada pertanyaan di atas –apakah ia merupakan bagian dari arsitektur ataukah tidak?– maka bisa jadi akan muncul beratus jawaban, beserta alasan yang dikemukakan untuk memperkuatnya. Pada masa Vitruvius (hingga saat ini!?), ketika arsitektur masih didefinisikan berdasarkan kekokohan, kegunaan dan keindahannya, bisa jadi bangunan hunian di atas tidak memenuhi satu aspek pun dari ketiganya. Ia mudah roboh tertiup angin kencang, ia sangat terbatas dalam menampung aktivitas penghuninya, dan ia juga tidak indah –terutama jika keindahan yang dijadikan tolok ukur adalah keindahan yang extravagant–. Pendapat senada mungkin juga akan diungkapkan oleh Nikolaus Pevsner yang menganggap arsitektur hanya pantas disematkan pada bangunan-bangunan yang dirancang dengan pertimbangan-pertimbangan akan daya tarik estetis (Pevsner dalam Ballantyne, 2002: 11). Dengan pandangannya ini, Pevsner ini tentu dengan sangat tegas akan menyingkirkan gubuk di atas dari ranah arsitektur. Bisa jadi, ada pula yang memasukkannya ke dalam ruang lingkup arsitektur, namun dengan berbagai peryaratan yang harus dipenuhi sebelumnya, layaknya seseorang yang hendak melamar menjadi anggota sebuah klub. Misalnya saja, bentuk dan materialnya yang harus sesuai standar, luas ruang yang harus memenuhi ketentuan minimal, dan sebagainya. Sebaliknya, bagi filsuf Yunani Diogenes –yang digambarkan hidup di dalam sebuah gentong yang hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya (the pithos)–, bangunan di atas bahkan bisa jadi terlalu mewah untuk dijadikan sebagai tempat berhuni.



Sebagian arsitek ada pula yang berpendapat bahwa hanya bangunan yang dirancang oleh arsiteklah yang pantas disebut sebagai arsitektur. Pendapat ini bisa jadi benar dalam konteks tertentu. Walau begitu, ia tampaknya lebih banyak menggambarkan ego dan kebutuhan para arsitek untuk diakui di masyarakat. Secara logis, sebenarnya hanya seseorang yang dapat menghasilkan sebuah “arsitektur”lah yang pantas disebut sebagai seorang “arsitek”, bukan sebaliknya. Karena perbincangan hangat mengenai hubungan antara arsitektur dan arsitek ini pulalah, muncul istilah-istilah seperti “architecture without architect”, dan sebaliknya “architect without architecture”. Istilah pertama menggambarkan pengakuan akan keberadaan obyek-obyek arsitektur, yang walaupun tidak dirancang oleh arsitek profesional, namun memiliki “kadar arsitektural” yang sangat tinggi, dan dengan demikian pantas disebut sebagai “arsitektur”. Sementara itu, istilah “architect without architecture” tampaknya lebih merupakan sindiran halus kepada orang-orang yang merasa dirinya arsitek profesional, namun tidak mampu menghasilkan satu pun bangunan yang dapat diklasifikasikan sebagai arsitektur. Shame on us, isn’t it? ^_^



Perubahan dan pergeseran cara pandang memang merupakan sesuatu yang niscaya di dalam dunia yang dipenuhi oleh manusia-manusia yang senantiasa berpikir. Di tahun 1990-an, ketika industrialisasi di Eropa telah sampai kepada titik jenuh akan pertimbangan-pertimbangan materialistik semata, muncul keinginan-keinginan di ranah pemikiran arsitektur untuk kembali kepada dunia perancangan yang mempertimbangkan aspek etika sebagai bagian tidak terpisahkan darinya. Etika yang dimaksud di sini tentulah tidak semata-mata etika terhadap sesama manusia, melainkan juga kepada makhluk hidup lain dan lingkungan alam yang mewadahi semua itu. Kepedulian akan lingkungan alam, yang disebut sebagai “pihak yang paling lemah” oleh Galih Widjil Pangarsa di dalam bukunya “Merah Putih Arsitektur Nusantara”, mulai memperoleh gaungnya. Walaupun masih lebih sering berada di ranah filosofis yang sering dituding sebagai utopian (Pangarsa, 2006: 53), tampaknya pemikiran ini berimbas cukup besar kepada cara pandang sebagian arsitek dan akademisi terhadap arsitektur dan ruang lingkupnya. Lingkungan alam, ujar Mohd. Tajuddin Mohd. Rasdi di dalam tulisannya “Crisis in Islamic Architecture”, harus mulai dipandang sebagai ‘the spaceship Earth’, sehingga apapun yang terjadi terhadap pesawat itu, manusia sebagai kru di dalamnya akan merasakan pula dampaknya (Tajuddin, 2003). Pandangan-pandangan semacam ini memasukkan pertimbangan akan keberlangsungan alam sebagai bagian yang penting dari arsitektur.



Jika perubahan paradigma mengenai apa yang disebut sebagai arsitektur itu berimbas pula pada gubuk hunian ini, maka bisa jadi bangunan itulah yang justru “lebih arsitektural” daripada bangunan-bangunan mewah yang memenuhi tiga kriteria Vitruvius di atas. Tengoklah betapa sedikit dampak negatif dari gubuk beralas tanah dan berukuran kecil ini terhadap lingkungan alam, jika dibandingkan dengan dampak negatif yang diakibatkan deretan rumah besar yang membelakanginya itu. Penutupan seluruh bidang tapak yang masif pada rumah-rumah mewah itu sebenarnya bukan disebabkan oleh permasalahan keterbatasan lahan perkotaan –sebuah alasan klasik untuk menutup habis tanah yang mereka miliki–. Tampaknya, fenomena itu lebih merupakan cerminan dari kemasabodohan manusia-manusia yang merancang, membangun dan mendiaminya, akan keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan alam.



Lebih jauh, gubuk di atas bahkan dapat disebut sebagai “sangat arsitektural”, karena dengan menatapnya saja, manusia dapat mengambil pesan dan memperoleh pelajaran akan keseimbangan hubungan manusia dan alam. Manusia harusnya mengambil seperlunya saja dari alam dan masih menyisakan “udara segar” agar tanah yang kita pijak ini masih tetap dapat bernafas. Pelajaran seindah ini bahkan dapat kita peroleh dari dua pohon pisang yang masih dapat tumbuh segar di halaman belakang gubuk ini. Once again shame on us, isn’t it? ^_^ Andrew Ballantyne di dalam Introduction buku “What is architecture?” menyatakan: “Such buildings are informative and philosophically interesting, because they can be seen to be testing an idea, and they therefore tend to be discussed and revisited in commentaries, even if they are not particularly beautiful or good to live in. They are valuable because we can learn something from them.” (Ballantyne, 2002: 3-4). Adakah pelajaran sebaik ini dapat kita raih dari deretan rumah mewah di belakang gubuk itu?



Satu lagi pendapat menarik tentang arsitektur, adalah apa yang didefinisikan Spiro Kostof sebagai bukan sesuatu yang inheren di dalam bangunan itu sendiri, melainkan sebagai permasalahan kultural yang melibatkan bangunan. “The buildings turn into architecture when we feel that we should notice them and treat them with respect, and this can happen to any building.” (Ballantyne, 2002: 12). Dalam pandangan ini, persepsi kitalah yang memegang peranan untuk menentukan apakah sebuah bangunan cukup berarti bagi kita untuk kita anggap sebagai arsitektur ataukah tidak. Sebuah bangunan dapat dianggap sebagai sebuah arsitektur oleh sebagian orang, dan sebaliknya, bahkan tidak dipersepsi sama sekali oleh sebagian yang lain. Dalam kasus di atas, sebuah gubuk pun dapat kita anggap sebagai arsitektur jika ia memiliki arti tertentu bagi kita, sebaliknya, rumah-rumah mewah yang tidak memiliki arti dan kesan apa-apa bagi kita hanya akan berakhir sebagai bangunan belaka.



Adalah menarik untuk menyadari bahwa perdebatan-perdebatan semacam ini tampaknya tidak akan pernah sampai pada satu kesimpulan besar mengenai apakah gerangan arsitektur itu dan seberapa besarkah ruang lingkupnya. Walaupun begitu, setiap pendapat yang mencoba mendefinisikan hal ini selalu menarik untuk diselami, karena dari sanalah kita dapat mengambil nilai-nilai kebenaran dan kebijaksanaan yang mungkin terkandung di dalamnya. Dengan memahami dan membandingkan setiap pendapat yang ada, kita dapat pula memperoleh keluasan pengetahuan akan konteks dan keterbatasan dari masing-masing definisi. Lebih jauh, pada akhirnya kita dapat pula menggali dan menemukan latar belakang dan cara pandang dari para pencetusnya, yang bersembunyi di balik setiap pernyataan yang mereka lontarkan.





Daftar Pustaka

Ballantyne, Andrew (2002), What is Architecture, London: Routledge

Mohd. Tajuddin, Mohd. Rasdi (2003), “Islamic Architecture in Malaysia: a Case of Middle Eastern Inferiority Complex”, Crisis in Islamic Architecture, The KALAM Papers June 2006. Malaysia: Fakulti Alam Bina UTM

Pangarsa, Galih Widjil (2006), Merah Putih Arsitektur Nusantara, Yogyakarta: Penerbit Andi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar